RINDU YANG TERTEBUS
“Ahmad!”
“Ya, ummi”.
“Apakah perbekalanmu sudah siap semua?”
“Sudah ummi..., lagi pula tidak banyak yang aku bawa. Hanya sebilah pedang, tempat air dan dua helai baju yang akan digunakan untuk shalat dan berperang”.
“Anakku..., apakah kamu takut?”
“Ya, ummi”.
“Tidak apa, itu wajar anakku. Ayah dan kakak-kakakmu yang telah mendahului sebelum kamu juga bersikap demikian di awal pemberangkatannya ke medan jihad”.
“Tapi apakah aku bisa syahid sebagaimana mereka, ummi?”
“Insya Allah, anakku. Yakinlah dengan ajaran Baginda Rasulullah yang telah sampai kepada kita. Karena dengan keyakinan Islam yang mantap dan ikhlas, rasa takut itu akan sirna dari hatimu”.
“Saat ini tentara Romawi sedang menyusun kekuatan yang sangat besar dan kuat. Apalagi ditambah dengan persenjataan mereka yang lebih modern. Apakah kita bisa menang?”
“Anakku. Ingatlah, kamu masuk Islam tanpa paksaan dan pergi hijrah dengan sukarela. Demi Allah yang tiada Tuhan selain Dia, kamu adalah putera dari seorang laki-laki, seperti juga putera dari seorang ibu. Asal-usul kamu tidak buruk, dan anak saudara kamu tidak bernoda. Ketahuilah, bahwa perumahan yang abadi itu lebih baik dari perumahan yang fana. Sabarlah, tabahlah, bertahanlah dan bertaqwalah kepada Allah agar kalian menang dan Islam bisa tegak. Pergilah kamu memerangi musuh dengan kewaspadaan penuh. Pergilah bersama Allah untuk menghancurkan musuh-musuh-Nya, niscaya kalian akan diberi kemenangan. Kalau perang sudah berkecamuk dan kobaran apinya sudah semakin mengganas, bertempurlah dan kerahkan segala kekuatan yang ada pada kamu, jangan ragu-ragu dan gentar. Kalian akan meraih kemenangan, atau paling tidak akan memperoleh gelar kehormatan pejuang-Nya di perumahan abadi yaitu mati syahid membela agama-Nya”.
“Ummi.....”
Malam itu menjadi malam yang panjang bagi Ahmad dan ibunya, karena panggilan jihad sudah berada di depan mata. Peristiwa yang penuh dengan kesyahduan kembali berulang bagi Ummu Ismail.
Menjelang subuh, Muhammad Ismail pergi mandi dan mewangikan seluruh tubuhnya dengan minyak misik yang banyak sekali. Harapannya hanya satu, mati syahid dalam berjuang di jalan-Nya. Lalu ia pergi pamit kepada ibunya. Ketika keduanya berpelukan, Ummu Ismail merasakan sesuatu yang keras di dalam baju anaknya. Ditatapnya wajah Ahmad penuh kecewa dan berkata, “Wahai anakku! Ini bukanlah pakaiannya orang yang mau mati syahid?”
“Aku memakainya agar hati ibu tenang dan tenteram”.
“Tidak anakku! Demi Allah, bukalah baju besimu itu kalau kamu ingin melihat hati ibumu ini tenang dan tenteram”, tegas Ummu Ismail.
Setelah melepas baju besinya, Muhammad Ismail pergi meniggalkan ibunya dengan semangat yang membara, berbekal kekuatan dan keimanan yang tinggi, siap memasrahkan segalanya demi mempertahankan kebenaran. Sayup-sayup terdengar suara adzan subuh dari sebuah masjid di kotanya, yang sekaligus menjadi tempat berkumpulnya para pejuang Muslim yang siap berangkat ke medan jihad melawan pasukan Romawi.
**********
“Ahmad...!”
“Ada apa ya Jafar?”
“Antum hari ini juga shaum?”
“Insya Allah, akhi”.
“Subhanallah, saya kagum dengan antum. Sudah seminggu ini antum melaksanakan shaum, padahal kita sedang melakukan perjalanan yang cukup jauh untuk menghadapi tentara Romawi”.
“Aku hanya berusaha merasakan nikmatnya beribadah kepada Sang Khalik di sisa umurku ini, akhi”.
“Benar. Insya Allah dua minggu ke depan kita akan sampai di perbatasan dan kita tidak mengetahui apa yang Allah rencanakan buat kita di peperangan nanti. Semoga saja Allah meluruskan niat kita semua”.
“Amiin”.
“Oh ya Ahmad, ini ada sedikit makanan buat antum. Semoga dapat memberi manfaat dan berkah buat ta’jil nanti”.
“Syukron. Terima kasih ya Jafar”.
“Assalamu’alaikum...”
“Wa’alaikumussalam...”
Setelah istirahat yang cukup, pasukan Muslim yang hanya berjumlah sekitar 400 orang dan 50 ekor kuda berangkat kembali. Perjalanan ke arah perbatasan memang memakan waktu yang cukup lama, apalagi dengan berjalan kaki yang bisa memakan waktu hampir sebulan. Rute perjalanan yang dilewati pun cukup sulit dan berbahaya. Panasnya terik matahari di gurun yang tandus, terjalnya pegunungan dan bukit, dan bahkan dinginnya malam yang menusuk tubuh siap menghadang. Tanpa adanya iman yang kuat dan rindu akan syahid, mungkin sudah melunturkan semangat kaum Muslimin.
Saat itu Muhammad Ismail berjalan di sebelah Abdul Wahid, ulama pejuang yang disegani di setiap peperangan maupun di dalam majelis.
“Ya Umaro. Apakah kita bisa menang melawan pasukan Romawi yang jumlahnya hampir sepuluh kali lipat dari kita?”
“Insya Allah, Ahmad”.
“Bagaimana kalau kita kalah dan banyak yang mati”.
“Kita tetap akan menang ya Ahmad”, sahut Beliau dengan tersenyum.
“Aku tidak mengerti maksud ucapan itu ya Umaro?” tanya Ahmad.
Abdul Wahid menghela nafas sejenak dan berkata, “Wahai Ahmad, kamu tidak perlu memikirkan apakah nanti kita akan menang atau tidak. Selama yang kita lakukan atau perbuat ini benar sesuai dengan yang diperintahkan Allah, maka perjuangkanlah. Sesungguhnya Allah akan ridho kepada kita, dan selama keridhoan Allah masih bersama kita maka segala keragu-raguan itu tidak layak dimunculkan. Kebenaran dan Islam itu kepunyaan Allah, dan karena semua itu kepunyaan Allah maka Allah pula-lah yang akan menjaganya. Sebagai hamba-Nya, tugas kita hanya patuh dan taat akan segala perintah-Nya”.
“Terus, bagaimana dengan kemenangan itu?”
“Dengan ketaatan dan keikhlasan kita menjalankan perintah-Nya, termasuk yang akan kita lakukan ini; sesungguhnya Allah akan memenangkan kita dari segala kemenangan apapun. Kemenangan yang akan kita peroleh adalah kemenangan sejati menegakkan dien-Nya”.
“Maksudnya...?”
“Allah berfirman dalam Qur’an Surat Ali ‘Imran ayat 169: “Jangan kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki”. Ahyaa’un dalam firman tersebut menerangkan bahwa mereka yang syahid itu hidup di alam lain, dimana mereka akan mendapat kenikmatan-kenikmatan di sisi Allah dan hanya Allah sajalah yang mengetahui bagaimana keadaan hidup itu. Dan itulah kemenangan sejati”.
**********
Matahari sudah mulai condong kembali ke barat. Perjalanan terus berlanjut dan sisa-sisa harapan seorang hamba akan cita-cita mulia sudah tidak terbendung lagi. Di peristirahatannya yang ke sekian kali, Ahmad bermunajat lama kepada Rabbnya. Ia tumpahkan segalanya dan ia adukan kegelisahannya di penghujung malam.
“Ya Allah, hamba minta pada-Mu keselamatan di dunia dan di akhirat nanti. Ya Allah, aku minta kepada-Mu keselamatan di dalam menjalankan dien-Mu dan duniaku, keluargaku dan harta bendaku. Ya Allah, hamba minta tutuplah aurat-aurat kami dan amankanlah apa-apa yang menjadi pemeliharaan rencana kami. Ya Allah, jagalah kami dari bahaya yang datang dari depan dan belakang kami dan dari bahaya yang datang dari sisi kanan dan kiri kami, dan dari bahaya yang datang dari atas dan aku berlindung dengan keagungan-Mu dari bahaya yang tak disangka-sangka dari bawah secara tiba-tiba. Wahai yang senantiasa hidup kekal, wahai yang senantiasa tegak berdiri sendiri, dengan kasih sayang-Mu aku minta bantuan agar dimudahkan segala kesulitan urusan kami dan janganlah Engkau bebankan urusan pada diriku walau sekejap mata yang memedihkan pandangan kami. Maha Suci Engkau wahai Allah dengan segala kebesaran dan tahmid. Aku bersaksi dan mengaku bahwa tidak ada Ilaah kecuali Engkau. Aku mohon ampun dari-Mu dan aku bertaubat kepada-Mu”.
Munajat yang begitu ikhlas dan melankolis terus dikumandangkan Ahmad di malam-malam berikutnya. Kata-kata kerinduannya tertumpah ke haribaan Sang Khalik. Saat matahari meninggi, pun ia pergunakan dengan ibadah shaum secara ikhlas penuh ketabahan dan tawadhu. Diluar itu, Ahmad turut melayani kebutuhan pasukan dan ikut berjaga-jaga bila semuanya tertidur.. Hingga sampailah pasukan Muslim di perbatasan Romawi.
Pada malam terakhir menjelang pertempuran, semua pejuang Muslim berjaga-jaga. Hanya beberapa orang saja yang tertidur karena kelelahan, termasuk Muhammad Ismail. Kebanyakan dari mereka yang tidak dapat memicingkan matanya mulai membentuk kelompok-kelompok lingkaran kecil sekedar untuk berdiskusi dan saling memberi nasihat. Sedangkan sisanya lebih memilih untuk menyendiri, bermunajat kepada Sang Ilaahi Rabbi. Mungkin inilah malam terakhir mereka untuk bisa melakukan muhasabah.
Malam semakin larut dan samar terdengar isak tangis beberapa orang yang sedang khusyu’ bermunajat. Bintang memunculkan jati dirinya dengan begitu indah, kontras dengan heningnya hari yang semakin pekat. Jutaan cahaya seakan-akan ikut bersujud dan bertafakur turut mendo’akan para pejuang Muslim.
Tiba-tiba terdengar sebuah teriakan dari arah kelompok orang yang sedang terlelap. “Ah, alangkah rindunya aku pada Ainul Mardhiyah”, teriak suara itu. Kontan saja pasukan Muslim yang masih terjaga menoleh dan mencari-cari arah sumber suara itu. Mereka merasa aneh dengan situasi seperti ini masih ada yang berteriak merindukan seorang wanita. Mereka mencari tahu siapa yang berteriak sedemikian rupa, termasuk Abdul Wahid, sang ulama pejuang. Dan akhirnya ditemukan siapa yang berteriak tadi.
“Ada gerangan apa engkau berteriak sedemikian rupa, hai Ahmad?” tanya sang ulama kepada Muhammad Ismail, yang ternyata sumber dari teriakan tadi.
“Aku rindu sekali dengan Ainul Mardhiyah, ya Umaro”.
“Siapakah Ainul Mardhiyah itu?” tanya Abdul Wahid penasaran.
**********
Aku tadi tertidur dan bertemu dengan seseorang. Orang tersebut berkata kepadaku, “Pergilah kepada Ainul Mardhiyah”. Dan aku pun dibawa pergi ke sebuah taman yang dikelilingi oleh sebuah sungai yang jernih. Di tepi sungai itu banyak gadis-gadis yang lengkap perhiasannya dan sangat cantik. Ketika mereka melihatku, tiba-tiba mereka berkata, “Itulah suami Ainul Mardhiyah”. Tentu saja aku bertambah penasaran sehingga aku memberanikan diri menghampiri mereka dan memberi salam, lalu aku bertanya, “Adakah di antara kalian yang bernama Ainul Mardhiyah?”
“Kami hanyalah pelayan-pelayannya. Kalau Tuan ingin bertemu, silahkan jalan terus menyusuri sungai ini”, jawab salah satu dari mereka. Mendapat jawaban seperti itu, akhirnya aku menyusuri sungai. Dan terkejutlah aku bahwa ternyata sungai yang aku susuri itu adalah sungai susu yang tidak berubah rasa dan warnanya. Hingga sampailah aku di tempat yang banyak berkerumun gadis-gadis cantik dan juga lengkap perhiasannya, lebih cantik dari gadis-gadis sebelumnya. “Inilah suami Ainul Mardhiyah”, kata gadis-gadis itu berbisik. Tetapi ketika aku menanyakan yang mana Ainul Mardhiyah, aku mendapatkan jawaban yang sama, bahwa mereka hanyalah pelayan-pelayannya. Kemudian aku kembali disuruh untuk menyusuri sungai yang ternyata adalah sungai madu sampai bertemu lagi dengan kerumunan gadis-gadis. Mereka lebih cantik dan lebih lengkap perhiasannya dibandingkan gadis-gadis sebelumnya. Lalu aku ditunjukkan sebuah kemah yang tersusun dari permata yang indah. Aku pun segera ke sana. Betapa terkejutnya aku melihat gadis cantik yang ada di dalam kemah. Sungguh aku terkagum-kagum dibuatnya dan menyangka inilah yang bernama Ainul Mardhiyah. Dan aku sudah merasa cukup puas bila gadis ini yang menjadi pendampingku. Ketika aku hendak menyapanya, tiba-tiba ia langsung berbalik dan memanggil seseorang yang ada di dalam sebuah kamar, “Hai Ainul Mardhiyah, suamimu telah datang!”
Aku terkejut dengan pernyataannya dan rupanya aku telah salah sangka. Dengan sedikit bergegas aku langsung masuk ke dalam kamar. Di sana kulihat seorang gadis yang sangat cantik sedang duduk di atas tempat tidur emas, yang bertaburkan permata, berlian, dan yaqut. Sampai-sampai aku tidak dapat menahan diri untuk menyentuhnya.
“Marhaban wahai kekasihku, sudah hampir tiba kedatanganmu”, kata gadis itu dengan senyumnya yang paling manis dan keteduhan matanya yang belum pernah kulihat. Sungguh aku ingin sekali memeluknya, namun......
“Sabar dahulu kekasihku, engkau belum sah menjadi suamiku. Sebab engkau masih hidup”, kata Ainul Mardhiyah. “Tetapi insya Allah engkau akan berbuka di sini”, lanjutnya kembali.
**********
Mendengar cerita yang dituturkan Muhammad Ismail, Abdul Wahid hanya tersenyum dan menepuk pundaknya berkali-kali, lalu meninggalkannya sendirian. Sementara Ahmad langsung bersujud dan melantunkan doa-doa kerinduannya kepada Ilaahi Rabbi. Sementara itu fajar sudah hampir muncul, dan pasukan Muslim bersiap-siap untuk shalat subuh dan menghadapi pertempuran dengan pasukan Romawi.
Saat matahari sudah tergelincir, di perbatasan tampaklah sebuah pemandangan yang sangat mendebarkan jiwa. Pasukan Muslim yang hanya berjumlah sekitar 400 orang berhadapan dengan tentara Romawi yang berjumlah sekitar 5000 orang. Strategi yang dicanangkan pasukan Muslim menempatkan pasukan pemanah pada barisan depan, diikuti oleh pasukan berkuda dan pasukan berpedang di belakangnya. Sementara tentara Romawi menempatkan barisannya untuk mengepung dari sepertiga penjuru. Suasana hening sesaat dan masing-masing kubu menanti aba-aba dari pemimpinnya.
Ketika matahari bergerak sedikit ke atas, tampaklah sebuah kilatan cahaya yang menyilaukan semua orang yang berada di situ dan bersamaan dengan itu masing-masing rombongan bergerak maju. Dan sejarah peperangan pun baru dimulai.
Muhammad Ismail yang berada dalam rombongan pasukan berpedang dengan gagah berani berlari menyongsong musuh yang semakin mendekat. Perang berkecamuk dengan dahsyat dan jeritan manusia bersahut-sahutan di setiap sudut peperangan. Seruan takbir bergema di angkasa yang dilafazkan pasukan Muslim menyongsong syahid yang sudah lama dinantikan. Dengan gesitnya Ahmad berputar dan mengelak bak seorang penari yang gemulai memainkan pedangnya sehingga dalam waktu singkat lima orang prajurit Romawi tewas ditangannya. Pada saat hitungan ke tujuh dari korbannya, Ahmad merasakan sesuatu yang nyeri di punggung dan pahanya. Dan ia sadar bahwa ia sudah terkena senjata musuh dan cukup parah. Dengan lengkingan Allahu Akbar, Ahmad tidak mengurangi kelebatan pedangnya, bahkan semakin ganas ia melakukan perlawanan. Akhirnya pada hitungan ke sepuluh dari tentara Romawi yang tewas di ujung pedangnya, Muhammad Ismail tersenyum sepenuh bibirnya.
Sinar matahari yang seharusnya terik di saat menaik tidak terasakan lagi panasnya, awan-awan yang tadinya berarak tampak seperti diam sejenak dan angin yang berhembus sudah terasa melemah ketika sang Mujahid menemui syahid. Muhammad Ismail berhasil mendapatkan impiannya memenuhi tradisi keluarganya dan menemui istrinya di alam yang penuh dengan kenikmatan, Ainul Mardhiyah.
Sementara itu takbir terus bergema di medan peperangan dan pasukan Muslim terus bergerak maju dengan gagah berani mengejar sisa-sisa tentara Romawi yang jumlahnya terus menurun drastis, tewas diujung para syaifullah.
**********
Epilog:
Ummu Ismail menyentuhkan kepalanya ke atas tanah. Agak lama beliau berada dalam sujudnya yang penuh dengan keharuan yang sangat membekas. Kemudian perlahan-lahan kepalanya mulai dinaikkan dan akhirnya ditengadahkan ke atas bersamaan dengan terbukanya kedua belah tapak tangannya. Tampak sisa-sisa air mata yang belum sempat dihapusnya.
“Alhamdulillah ya Allah......., Engkau telah memberikan kehormatan dan anugerah yang sangat besar kepadaku dengan kematian suami dan semua puteraku di jalan-Mu sebagai syuhada. Aku berharap dan memohon kepada-Mu, agar Engkau ya Allah kelak akan mengumpulkan aku dengan mereka di pemukiman yang penuh rahmat kasih sayang-Mu”.
“Ahmad!”
“Ya, ummi”.
“Apakah perbekalanmu sudah siap semua?”
“Sudah ummi..., lagi pula tidak banyak yang aku bawa. Hanya sebilah pedang, tempat air dan dua helai baju yang akan digunakan untuk shalat dan berperang”.
“Anakku..., apakah kamu takut?”
“Ya, ummi”.
“Tidak apa, itu wajar anakku. Ayah dan kakak-kakakmu yang telah mendahului sebelum kamu juga bersikap demikian di awal pemberangkatannya ke medan jihad”.
“Tapi apakah aku bisa syahid sebagaimana mereka, ummi?”
“Insya Allah, anakku. Yakinlah dengan ajaran Baginda Rasulullah yang telah sampai kepada kita. Karena dengan keyakinan Islam yang mantap dan ikhlas, rasa takut itu akan sirna dari hatimu”.
“Saat ini tentara Romawi sedang menyusun kekuatan yang sangat besar dan kuat. Apalagi ditambah dengan persenjataan mereka yang lebih modern. Apakah kita bisa menang?”
“Anakku. Ingatlah, kamu masuk Islam tanpa paksaan dan pergi hijrah dengan sukarela. Demi Allah yang tiada Tuhan selain Dia, kamu adalah putera dari seorang laki-laki, seperti juga putera dari seorang ibu. Asal-usul kamu tidak buruk, dan anak saudara kamu tidak bernoda. Ketahuilah, bahwa perumahan yang abadi itu lebih baik dari perumahan yang fana. Sabarlah, tabahlah, bertahanlah dan bertaqwalah kepada Allah agar kalian menang dan Islam bisa tegak. Pergilah kamu memerangi musuh dengan kewaspadaan penuh. Pergilah bersama Allah untuk menghancurkan musuh-musuh-Nya, niscaya kalian akan diberi kemenangan. Kalau perang sudah berkecamuk dan kobaran apinya sudah semakin mengganas, bertempurlah dan kerahkan segala kekuatan yang ada pada kamu, jangan ragu-ragu dan gentar. Kalian akan meraih kemenangan, atau paling tidak akan memperoleh gelar kehormatan pejuang-Nya di perumahan abadi yaitu mati syahid membela agama-Nya”.
“Ummi.....”
Malam itu menjadi malam yang panjang bagi Ahmad dan ibunya, karena panggilan jihad sudah berada di depan mata. Peristiwa yang penuh dengan kesyahduan kembali berulang bagi Ummu Ismail.
Menjelang subuh, Muhammad Ismail pergi mandi dan mewangikan seluruh tubuhnya dengan minyak misik yang banyak sekali. Harapannya hanya satu, mati syahid dalam berjuang di jalan-Nya. Lalu ia pergi pamit kepada ibunya. Ketika keduanya berpelukan, Ummu Ismail merasakan sesuatu yang keras di dalam baju anaknya. Ditatapnya wajah Ahmad penuh kecewa dan berkata, “Wahai anakku! Ini bukanlah pakaiannya orang yang mau mati syahid?”
“Aku memakainya agar hati ibu tenang dan tenteram”.
“Tidak anakku! Demi Allah, bukalah baju besimu itu kalau kamu ingin melihat hati ibumu ini tenang dan tenteram”, tegas Ummu Ismail.
Setelah melepas baju besinya, Muhammad Ismail pergi meniggalkan ibunya dengan semangat yang membara, berbekal kekuatan dan keimanan yang tinggi, siap memasrahkan segalanya demi mempertahankan kebenaran. Sayup-sayup terdengar suara adzan subuh dari sebuah masjid di kotanya, yang sekaligus menjadi tempat berkumpulnya para pejuang Muslim yang siap berangkat ke medan jihad melawan pasukan Romawi.
**********
“Ahmad...!”
“Ada apa ya Jafar?”
“Antum hari ini juga shaum?”
“Insya Allah, akhi”.
“Subhanallah, saya kagum dengan antum. Sudah seminggu ini antum melaksanakan shaum, padahal kita sedang melakukan perjalanan yang cukup jauh untuk menghadapi tentara Romawi”.
“Aku hanya berusaha merasakan nikmatnya beribadah kepada Sang Khalik di sisa umurku ini, akhi”.
“Benar. Insya Allah dua minggu ke depan kita akan sampai di perbatasan dan kita tidak mengetahui apa yang Allah rencanakan buat kita di peperangan nanti. Semoga saja Allah meluruskan niat kita semua”.
“Amiin”.
“Oh ya Ahmad, ini ada sedikit makanan buat antum. Semoga dapat memberi manfaat dan berkah buat ta’jil nanti”.
“Syukron. Terima kasih ya Jafar”.
“Assalamu’alaikum...”
“Wa’alaikumussalam...”
Setelah istirahat yang cukup, pasukan Muslim yang hanya berjumlah sekitar 400 orang dan 50 ekor kuda berangkat kembali. Perjalanan ke arah perbatasan memang memakan waktu yang cukup lama, apalagi dengan berjalan kaki yang bisa memakan waktu hampir sebulan. Rute perjalanan yang dilewati pun cukup sulit dan berbahaya. Panasnya terik matahari di gurun yang tandus, terjalnya pegunungan dan bukit, dan bahkan dinginnya malam yang menusuk tubuh siap menghadang. Tanpa adanya iman yang kuat dan rindu akan syahid, mungkin sudah melunturkan semangat kaum Muslimin.
Saat itu Muhammad Ismail berjalan di sebelah Abdul Wahid, ulama pejuang yang disegani di setiap peperangan maupun di dalam majelis.
“Ya Umaro. Apakah kita bisa menang melawan pasukan Romawi yang jumlahnya hampir sepuluh kali lipat dari kita?”
“Insya Allah, Ahmad”.
“Bagaimana kalau kita kalah dan banyak yang mati”.
“Kita tetap akan menang ya Ahmad”, sahut Beliau dengan tersenyum.
“Aku tidak mengerti maksud ucapan itu ya Umaro?” tanya Ahmad.
Abdul Wahid menghela nafas sejenak dan berkata, “Wahai Ahmad, kamu tidak perlu memikirkan apakah nanti kita akan menang atau tidak. Selama yang kita lakukan atau perbuat ini benar sesuai dengan yang diperintahkan Allah, maka perjuangkanlah. Sesungguhnya Allah akan ridho kepada kita, dan selama keridhoan Allah masih bersama kita maka segala keragu-raguan itu tidak layak dimunculkan. Kebenaran dan Islam itu kepunyaan Allah, dan karena semua itu kepunyaan Allah maka Allah pula-lah yang akan menjaganya. Sebagai hamba-Nya, tugas kita hanya patuh dan taat akan segala perintah-Nya”.
“Terus, bagaimana dengan kemenangan itu?”
“Dengan ketaatan dan keikhlasan kita menjalankan perintah-Nya, termasuk yang akan kita lakukan ini; sesungguhnya Allah akan memenangkan kita dari segala kemenangan apapun. Kemenangan yang akan kita peroleh adalah kemenangan sejati menegakkan dien-Nya”.
“Maksudnya...?”
“Allah berfirman dalam Qur’an Surat Ali ‘Imran ayat 169: “Jangan kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki”. Ahyaa’un dalam firman tersebut menerangkan bahwa mereka yang syahid itu hidup di alam lain, dimana mereka akan mendapat kenikmatan-kenikmatan di sisi Allah dan hanya Allah sajalah yang mengetahui bagaimana keadaan hidup itu. Dan itulah kemenangan sejati”.
**********
Matahari sudah mulai condong kembali ke barat. Perjalanan terus berlanjut dan sisa-sisa harapan seorang hamba akan cita-cita mulia sudah tidak terbendung lagi. Di peristirahatannya yang ke sekian kali, Ahmad bermunajat lama kepada Rabbnya. Ia tumpahkan segalanya dan ia adukan kegelisahannya di penghujung malam.
“Ya Allah, hamba minta pada-Mu keselamatan di dunia dan di akhirat nanti. Ya Allah, aku minta kepada-Mu keselamatan di dalam menjalankan dien-Mu dan duniaku, keluargaku dan harta bendaku. Ya Allah, hamba minta tutuplah aurat-aurat kami dan amankanlah apa-apa yang menjadi pemeliharaan rencana kami. Ya Allah, jagalah kami dari bahaya yang datang dari depan dan belakang kami dan dari bahaya yang datang dari sisi kanan dan kiri kami, dan dari bahaya yang datang dari atas dan aku berlindung dengan keagungan-Mu dari bahaya yang tak disangka-sangka dari bawah secara tiba-tiba. Wahai yang senantiasa hidup kekal, wahai yang senantiasa tegak berdiri sendiri, dengan kasih sayang-Mu aku minta bantuan agar dimudahkan segala kesulitan urusan kami dan janganlah Engkau bebankan urusan pada diriku walau sekejap mata yang memedihkan pandangan kami. Maha Suci Engkau wahai Allah dengan segala kebesaran dan tahmid. Aku bersaksi dan mengaku bahwa tidak ada Ilaah kecuali Engkau. Aku mohon ampun dari-Mu dan aku bertaubat kepada-Mu”.
Munajat yang begitu ikhlas dan melankolis terus dikumandangkan Ahmad di malam-malam berikutnya. Kata-kata kerinduannya tertumpah ke haribaan Sang Khalik. Saat matahari meninggi, pun ia pergunakan dengan ibadah shaum secara ikhlas penuh ketabahan dan tawadhu. Diluar itu, Ahmad turut melayani kebutuhan pasukan dan ikut berjaga-jaga bila semuanya tertidur.. Hingga sampailah pasukan Muslim di perbatasan Romawi.
Pada malam terakhir menjelang pertempuran, semua pejuang Muslim berjaga-jaga. Hanya beberapa orang saja yang tertidur karena kelelahan, termasuk Muhammad Ismail. Kebanyakan dari mereka yang tidak dapat memicingkan matanya mulai membentuk kelompok-kelompok lingkaran kecil sekedar untuk berdiskusi dan saling memberi nasihat. Sedangkan sisanya lebih memilih untuk menyendiri, bermunajat kepada Sang Ilaahi Rabbi. Mungkin inilah malam terakhir mereka untuk bisa melakukan muhasabah.
Malam semakin larut dan samar terdengar isak tangis beberapa orang yang sedang khusyu’ bermunajat. Bintang memunculkan jati dirinya dengan begitu indah, kontras dengan heningnya hari yang semakin pekat. Jutaan cahaya seakan-akan ikut bersujud dan bertafakur turut mendo’akan para pejuang Muslim.
Tiba-tiba terdengar sebuah teriakan dari arah kelompok orang yang sedang terlelap. “Ah, alangkah rindunya aku pada Ainul Mardhiyah”, teriak suara itu. Kontan saja pasukan Muslim yang masih terjaga menoleh dan mencari-cari arah sumber suara itu. Mereka merasa aneh dengan situasi seperti ini masih ada yang berteriak merindukan seorang wanita. Mereka mencari tahu siapa yang berteriak sedemikian rupa, termasuk Abdul Wahid, sang ulama pejuang. Dan akhirnya ditemukan siapa yang berteriak tadi.
“Ada gerangan apa engkau berteriak sedemikian rupa, hai Ahmad?” tanya sang ulama kepada Muhammad Ismail, yang ternyata sumber dari teriakan tadi.
“Aku rindu sekali dengan Ainul Mardhiyah, ya Umaro”.
“Siapakah Ainul Mardhiyah itu?” tanya Abdul Wahid penasaran.
**********
Aku tadi tertidur dan bertemu dengan seseorang. Orang tersebut berkata kepadaku, “Pergilah kepada Ainul Mardhiyah”. Dan aku pun dibawa pergi ke sebuah taman yang dikelilingi oleh sebuah sungai yang jernih. Di tepi sungai itu banyak gadis-gadis yang lengkap perhiasannya dan sangat cantik. Ketika mereka melihatku, tiba-tiba mereka berkata, “Itulah suami Ainul Mardhiyah”. Tentu saja aku bertambah penasaran sehingga aku memberanikan diri menghampiri mereka dan memberi salam, lalu aku bertanya, “Adakah di antara kalian yang bernama Ainul Mardhiyah?”
“Kami hanyalah pelayan-pelayannya. Kalau Tuan ingin bertemu, silahkan jalan terus menyusuri sungai ini”, jawab salah satu dari mereka. Mendapat jawaban seperti itu, akhirnya aku menyusuri sungai. Dan terkejutlah aku bahwa ternyata sungai yang aku susuri itu adalah sungai susu yang tidak berubah rasa dan warnanya. Hingga sampailah aku di tempat yang banyak berkerumun gadis-gadis cantik dan juga lengkap perhiasannya, lebih cantik dari gadis-gadis sebelumnya. “Inilah suami Ainul Mardhiyah”, kata gadis-gadis itu berbisik. Tetapi ketika aku menanyakan yang mana Ainul Mardhiyah, aku mendapatkan jawaban yang sama, bahwa mereka hanyalah pelayan-pelayannya. Kemudian aku kembali disuruh untuk menyusuri sungai yang ternyata adalah sungai madu sampai bertemu lagi dengan kerumunan gadis-gadis. Mereka lebih cantik dan lebih lengkap perhiasannya dibandingkan gadis-gadis sebelumnya. Lalu aku ditunjukkan sebuah kemah yang tersusun dari permata yang indah. Aku pun segera ke sana. Betapa terkejutnya aku melihat gadis cantik yang ada di dalam kemah. Sungguh aku terkagum-kagum dibuatnya dan menyangka inilah yang bernama Ainul Mardhiyah. Dan aku sudah merasa cukup puas bila gadis ini yang menjadi pendampingku. Ketika aku hendak menyapanya, tiba-tiba ia langsung berbalik dan memanggil seseorang yang ada di dalam sebuah kamar, “Hai Ainul Mardhiyah, suamimu telah datang!”
Aku terkejut dengan pernyataannya dan rupanya aku telah salah sangka. Dengan sedikit bergegas aku langsung masuk ke dalam kamar. Di sana kulihat seorang gadis yang sangat cantik sedang duduk di atas tempat tidur emas, yang bertaburkan permata, berlian, dan yaqut. Sampai-sampai aku tidak dapat menahan diri untuk menyentuhnya.
“Marhaban wahai kekasihku, sudah hampir tiba kedatanganmu”, kata gadis itu dengan senyumnya yang paling manis dan keteduhan matanya yang belum pernah kulihat. Sungguh aku ingin sekali memeluknya, namun......
“Sabar dahulu kekasihku, engkau belum sah menjadi suamiku. Sebab engkau masih hidup”, kata Ainul Mardhiyah. “Tetapi insya Allah engkau akan berbuka di sini”, lanjutnya kembali.
**********
Mendengar cerita yang dituturkan Muhammad Ismail, Abdul Wahid hanya tersenyum dan menepuk pundaknya berkali-kali, lalu meninggalkannya sendirian. Sementara Ahmad langsung bersujud dan melantunkan doa-doa kerinduannya kepada Ilaahi Rabbi. Sementara itu fajar sudah hampir muncul, dan pasukan Muslim bersiap-siap untuk shalat subuh dan menghadapi pertempuran dengan pasukan Romawi.
Saat matahari sudah tergelincir, di perbatasan tampaklah sebuah pemandangan yang sangat mendebarkan jiwa. Pasukan Muslim yang hanya berjumlah sekitar 400 orang berhadapan dengan tentara Romawi yang berjumlah sekitar 5000 orang. Strategi yang dicanangkan pasukan Muslim menempatkan pasukan pemanah pada barisan depan, diikuti oleh pasukan berkuda dan pasukan berpedang di belakangnya. Sementara tentara Romawi menempatkan barisannya untuk mengepung dari sepertiga penjuru. Suasana hening sesaat dan masing-masing kubu menanti aba-aba dari pemimpinnya.
Ketika matahari bergerak sedikit ke atas, tampaklah sebuah kilatan cahaya yang menyilaukan semua orang yang berada di situ dan bersamaan dengan itu masing-masing rombongan bergerak maju. Dan sejarah peperangan pun baru dimulai.
Muhammad Ismail yang berada dalam rombongan pasukan berpedang dengan gagah berani berlari menyongsong musuh yang semakin mendekat. Perang berkecamuk dengan dahsyat dan jeritan manusia bersahut-sahutan di setiap sudut peperangan. Seruan takbir bergema di angkasa yang dilafazkan pasukan Muslim menyongsong syahid yang sudah lama dinantikan. Dengan gesitnya Ahmad berputar dan mengelak bak seorang penari yang gemulai memainkan pedangnya sehingga dalam waktu singkat lima orang prajurit Romawi tewas ditangannya. Pada saat hitungan ke tujuh dari korbannya, Ahmad merasakan sesuatu yang nyeri di punggung dan pahanya. Dan ia sadar bahwa ia sudah terkena senjata musuh dan cukup parah. Dengan lengkingan Allahu Akbar, Ahmad tidak mengurangi kelebatan pedangnya, bahkan semakin ganas ia melakukan perlawanan. Akhirnya pada hitungan ke sepuluh dari tentara Romawi yang tewas di ujung pedangnya, Muhammad Ismail tersenyum sepenuh bibirnya.
Sinar matahari yang seharusnya terik di saat menaik tidak terasakan lagi panasnya, awan-awan yang tadinya berarak tampak seperti diam sejenak dan angin yang berhembus sudah terasa melemah ketika sang Mujahid menemui syahid. Muhammad Ismail berhasil mendapatkan impiannya memenuhi tradisi keluarganya dan menemui istrinya di alam yang penuh dengan kenikmatan, Ainul Mardhiyah.
Sementara itu takbir terus bergema di medan peperangan dan pasukan Muslim terus bergerak maju dengan gagah berani mengejar sisa-sisa tentara Romawi yang jumlahnya terus menurun drastis, tewas diujung para syaifullah.
**********
Epilog:
Ummu Ismail menyentuhkan kepalanya ke atas tanah. Agak lama beliau berada dalam sujudnya yang penuh dengan keharuan yang sangat membekas. Kemudian perlahan-lahan kepalanya mulai dinaikkan dan akhirnya ditengadahkan ke atas bersamaan dengan terbukanya kedua belah tapak tangannya. Tampak sisa-sisa air mata yang belum sempat dihapusnya.
“Alhamdulillah ya Allah......., Engkau telah memberikan kehormatan dan anugerah yang sangat besar kepadaku dengan kematian suami dan semua puteraku di jalan-Mu sebagai syuhada. Aku berharap dan memohon kepada-Mu, agar Engkau ya Allah kelak akan mengumpulkan aku dengan mereka di pemukiman yang penuh rahmat kasih sayang-Mu”.
No comments:
Post a Comment