Lelaki Pencari Tuhan

Lelaki itu berjalan menelusuri kota. Bagi seorang buruh seperti dia, waktu seperti inilah kesempatan melepas kesumpekan dari hingar-bingar mesik pabrik, hardikan mandor, celoteh para pekerja tentang upah yang tidak kunjung naik. Hari ini dia berjalan menelusuri kota hingga sampai di sebuah plaza. Matahari mulai memasuki peraduan. Pukul enam sore lebih lima belas menit, lelaki itu menginjakkan kakinya di pintu plaza. Cuaca tak begitu menye nangkan untuk sebuah perjalanan. Langit memberi aba-aba hujan akan turun. Lelaki itu memutuskan akan mengelilingi setiap sudut plaza, lantai demi lantai, dari lift ke lift lain, dari eskalator ke eskalator lain pula. Roda waktu terus berputar. Lelaki itu sudah sampai di lantai dua. Orang berseliweran hilir mudik. Laki- laki dan perempuan. Tua muda. Masing-masing menikmati riuh rendah kehidupan kota. Hiburan, makanan, semuanya bergaya jetset.
Lelaki itu masih terus melangkahkan kakinya. Sementara waktu kian mendekati senja. Kini dia sudah berada di lantai empat. Lalu lantai lima. Enam. Tak terasa dia sampai di lantai tujuhbelas.Hingga suat saat,
“Astaga,”dia berucap. Orang-orang di sekitar menatapnya. Terada ada yang aneh. Tapi cuma tertegun sebentar, meninggalkan lelaki itu yang kini mematung diri.
“Adakah yang aneh padaku?”gumannya. Bermacam jenis dan gaya pakaian orang lalu lalang di hada pannya. Musik menggema dari tiap-tiap stand. Ada blues, jazz, pop, sesekali dangdut. Lelaki itu melirik arlojinya : pukul enam empat puluh menit. Dia menghampiri satpam.
“Maaf, Mas. Tempat salat di mana, ya?”
“Dimana, ya? Sorry saya nggak gitu tahu.”
Lelaki itu tampak gelisah. Dia terus melirik arlojinya. Lalu dia mendekat seseorang waiters.
“Eh, anu lho, Mbak. Di sini ada musalanya?”
"Wah, saya pegawai baru, Bang. Tanya saja pada pria itu. Sepertinya dia sudah lama bekerja di sini. Di depan Kentucky Fried Chicken, pria berbaju merah dan bercelana hitam berdiri menyandarkan tubuhnya di depan pintu masuk.
“Di sini ada tempat sembahyangnya, Bang”?
Pria penjaga KFC itu tertawa.
“Ah, Abang ini ada-ada saja. Mana ada.”
“Maksud saya di plaza ini,”lelaki itu menjelaskan. Dia menunggu jawaban yang dapat menghilangkan kegelisahannya. Raut wajahnya jelas memperlihatkan tanda-tanda itu.
“O, bilang dong dari tadi.”
“Jadi ada?”
“Ada, tapi di lantai paling bawah.”
“Sebelah mana?”
“Tanya saja nanti.”
Lelaki itu bergegas mencari lift. Dia lupa dengan pria penjaga KFC itu.
“Terimakasih, Bang,”ucap lelaki itu dengan suaranya yang keras. Penjaga KFC itu cuma tersenyum. Heran. Aneh.
Waktu terus bergulir. Lelaki itu sebentar-sebentar melirik arlojinya. Pukul tujuh lima menit. Dia semakin gelisah. Lift yang p 7 3 dimasukinya turun sangat perlahan. Tiap lantai berhenti. Orang dan masuk. Perjalanan lift sudah sampai lantai dasar. Begitu pintu terbuka, lelaki itu bergegas keluar. Matanya sibuk berke liling mencari tempat bertanya.
“Tahu tempat salat, Bang?”tanyanya pada seorang pria berkacamata hitam. Pria itu cuma menggelengkan kepala. Lelaki itu semakin gelisah. Setiap orang yang ditanyannya tak satu pun yang mengetahui. Bertanya lagi dia pada seorang satpam.
“Tempat salatnya ada?” Satpam itu diam sejenak. Lama ia berpikir untuk mengingat- ingat. Lalu dia menjawab,
“Ada. Nanti terus saja dari lurusan jalan ini. Dekat boutique itu ada gang kecil. Pokoknya ikuti saja. Kira-kira sepuluh meter, ada toko buku. Nah, sebelah kiri itu nanti ada tangga. Terus ke bawah.” “Lalu?”
“Tanya saja orang-orang di sana. Mereka pasti tahu.”
“Terima kasih, Bang.” Lelaki itu seperti ketakutan terburu- buru mengikuti petunjuk yung dikatakan satpam tadi. Tatkala sampai di depan boutique, lelaki itu bertanya lagi sekedar meya kinkan diri. Kuatir kesasar.
“Toko buku sebelah mana, ya Dik?”tanya pada seorang pelajar yang sibuk memilih blus.
“Dekat sana, Bang. Terus saja. Dekat anak-anak muda itu,”jawabnya. Lelaki itu bergegas mendekati kerumunan anak- anakmuda itu. Dia pun bertanya lagi.
“Maaf, ya. Tangga menuju musala sebelah mana, ya?” Anak- anak muda itu cuek saja. Seolah-olah mereka tak mendengar lelaki itu bertanya. Orang tetap berlalu lalang. Hilir mudik tak tentu arahnya. Berbelanja atau hanya sekedar nampang. Mereka tak menghiraukan kegelisahan lelaki itu. “Tangga menuju ke musalah yang dekat lift itu, ya?” lelaki itu mengulangi pertanyaannya. Anak-anak muda itu menoleh lelaki itu. Tap tetap dengan gaya slengekan.
“Mau apa?”tanya salah seorang. Nada suaranya tak menunjuk kan keramahan. Lelaki itu cuma tersenyum dalam batin. Baginya, menghadapi anak-anak muda seperti ini bukanlah pekerjaan yang sukar. Tapi untuk apa dilayani.
“Mencari tempat sembahyang,”jawab lelaki itu.
“Gampang, Bung,”celetuk yang lainnya.
“Ente ikuti jalan ini. Gitu nyampe dekat telepon umum, ente keluar lewat pintu sebelah kanan yang menuju parkir. Nah tukang parkir itu pasti tahu.”
Meski jawaban itu makin membingungkan, lelaki itu menuruti apa yang dikatakan anak-anak muda tersebut. Di laur plaza itu, kenderaan silih berganti datang dan pergi. Tukang parkir sibuk membunyikan sempritan. “Kiri...kiri...Terus...terus..Kiri tajam...Hoooopppp... Lelali itu mendekat.
“Awas! Pelan-pelan. Kanan....kanan. Banting kanan tajam.”
“Bang, tempat sembahyang dekat sini, ya?”tanya lelaki itu.
“Awas, Bung! Minggir! Ntar ketabrak.”Suasana bising. Klakson mobil bersahutan.
“Bang, musala mana?”ulan lelaki itu.
“Tuh, dekat orang jualan sate.” Tukang parkir itu kembali sibuk mengatur kenderaan yang keluar 7 3 .. masuk. Tanpa sempat mengucapkan terimakasih, lelaki itu bergegas menuju pada penjual sate. Dadanya berdetak keras. Keringat bercu curan. Diliriknya arloji, pukul tujuh lima menit. Langkahnya makin cepat.
“Sebelah mana musala, Jo?”tanyanya.
“Lurusan jalan ini. Dekat gardu penjaga malam itu.” Lelaki itu makin mempercepat langkahnya. Waktu terus bergulir. Di gardu penjaga malam sekelompok anak muda asyik bernyanyi. Asap menge pul.
“Musalanya kok tutup, Bang?” lelaki itu heran. Tak ada tanda-tanda orang selesai sembahyang. Sepi. Lampu juga tak menyala. Gelap. “Udah nggak digunakan lagi, Bang. Nggak ada penjaganya. Orang-orang disini tiap malam sibuk terus,”anak-anak muda di gardu malam itu menjelaskan.
“Di plaza itu kan ada musalanya,”yang lain menimpali. Lelaki itu cuma terdiam. Di bingung. Keringat membasahi bajunya dan dia tetap tak bisa lari dari kegelisahan. Sementara waktu terus bergulir. Di atas langit telah gelap. Dilihatnya arloji : tujuh empat puluh delapan menit. Bergegas dia kembali ke plaza menuju toko buku. Tak ditemuinya lagi anak-anak muda yang tadi menyuruhnya ke luar. Di depan toko buku itu, dia bertemu lelaki tua yang terlihat seperti mencari sesuatu. Lelaki itu terus melihat arlojinya. Waktu seperti tak bisa ditawar lagi.
“Bapak mencari tempat salat juga?”tanyanya kepada lelaki tua itu. Yang ditanya sedikit heran. Dia hanya diam saja, tapi matanya mengarah ke tangga dekat di samping toko buku itu. Sambil berjalan, dia menunjuk ke arah tangga itu dan menghilang di tengah keramaian orang yang lalu lalang.
Orang makin ramai saja di plaza. Lelaki itu makin gelisah. Matanya sibuk mencari ke sana kemari. Orang-orang yang memperhatikan tingkah lakunya seperti tak peduli. Beberapa di antara mereka bahkan cuma menggelengkan kepala. Sementara lelaki itu terus saja bertingkah yang aneh-aneh. Lima menit kemudian, seperti ada yang menggerakkan badannya, lelaki itu dengan langkah gontai karena kelelahan menuju tangga di samping toko buku itu. Diikutinya arah tangga itu. Makin ke bawah, cahaya lampu terasa perlahan menghilang. Hanya celah-celah lubang yang menyembulkan percikan cahaya seperti tali panjang putih yang membentang.
Lelaki itu masih terus mencari tempat salat. Makin ke bawah lantai dasar plaza, ia ke belakang. Ia melihat sebuah ruangan berukuran kecil hanya berlapis triplek. Dari ruangan itu ia melihat beberapa orang keluar. Umumnya pekerja di berbagai counter plaza. Wanita dan lelaki. Mereka yang baru keluar terlihat masih menyisakan air di alis mata. Mereka baru saja salat di ruang petak ukuran kecil itu. Lalu lelaki itu menghampiri seorang lelaki empatpuluh tahun. “Di situ tempat salat, Pak?” tanyanya. Lelaki empatpuluh tahun tak menjawab. Ia cuma menggangguk lalu pergi meninggalkan lelaki itu yang masih terpaku diam. Namun anggukan lelaki empatpuluh tahun itu membuatnya menarik nafas panjang. Diliriknya arloji : sudah hampir tujuh tigapuluh menit. Bergegas ia masuk ke ruang itu. Tak ada apa-apa. Orang-orang sudah tak ada lagi yang salat. Ia bingung karena tak ada tempat untuk berwuduk. Di ruang itu ia hanya melihat tertempel karton putih bertuliskan 'arah kiblat'.
Lelaki itu bergegas membuka sepatunya. Ditempelkannya tangannya ke dinding ruang itu. Ia pun bertayamum. Lalu dengan beralaskan kertas koran sisa orang terakhir yang salat di ruang itu, ia mengangkat tangan : Allahu Akbar. Tiga rakaat hampir ia selesaikan. Lelaki itu masih dalam posisi rukuk. Malam terus beranjak. Satu persatu orang sudah meninggalkan plaza kembali ke tempat mereka masing-masing. Sejumlah penjaga counter pun terlihat sibuk menutup toko mereka. Terdengar jelas alunan musik perlahan namum pasti meredup. Lampu-lampu pun sudah juga dipadamkan.
“Hei, kemari. Di sini masih ada orang!”seorang satpam memanggil rekannya. Ketika itu mereka sudah mulai memeriksa setiap sudut ruangan di plaza itu. Lalu mereka pun menepuk kecil lelaki itu yang masih dalam keadaan rukuk. Tak ada reaksi. Setelah mereka tunggu lima menit, tak ada juga tanda-tanda akan ada reaksi. Mereka pun mengangkat tubuh lelaki itu yang sudah membeku.
“Hei, kemari. Di sini masih ada orang!”seorang satpam memanggil rekannya. Ketika itu mereka sudah mulai memeriksa setiap sudut ruangan di plaza itu. Lalu mereka pun menepuk kecil lelaki itu yang masih dalam keadaan rukuk. Tak ada reaksi.

No comments: